Dialektik News-Menjelang peringatan ke-17 tahun pemekaran Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) Pada 21 Juli mendatang, sejumlah perhatian khusus mulai muncul dari kalangan masyarakat dan pemerintah. Tak terkecuali dari kelompok mahasiswa.
Seorang mahasiswa asal Kecamatan Posigadan, Arisigit Kamaru, melayangkan berbagai pernyataan dalam menyambut perayaan tersebut.
Mahasiswa yang sering disapa Sigit di kalangan mahasiswa Bolsel di Gorontalo ini, menyoroti beberapa hal penting yang abai dilakukan pemerintah daerah dan mahasiswa dalam merumuskan cetak biru pembangunan daerah.
Sejauh ini ia menilai minimnya peran mahasiswa dalam proses pembangunan Bolsel, meskipun daerah ini telah berdiri selama 17 tahun.
“Setelah 17 tahun berdirinya daerah ini, terdapat satu aspek yang masih menjadi kelemahan signifikan dalam proses pembangunan, yaitu minimnya keterlibatan mahasiswa, khususnya dari jurusan seperti perikanan, pertanian, dan lain-lain yang dapat membantu merumuskan cetak biru perekonomian daerah,” kata Sigit, pada Jumat (18/07/25).
Ketidakselarasan ini menurutnya bukan tanpa sebab. Ia melihat sedari awal memang tidak ada forum khusus yang sekaligus membentuk kolaborasi antara pemerintah dan mahasiswa dari berbagai latar belakang keilmuan, dalam merumuskan program yang baku.
Sigit mengusulkan agar Pemda Bolsel membuka peluang kolaborasi melalui program magang atau proyek pembangunan bersama melalui kampus antara mahasiswa Bolsel dengan pemerintah daerahnya.
“Dengan memproyeksikan potensi kami lewat magang atau kerjasama proyek pembangunan, pemerintah tidak hanya mendapatkan ide-ide segar, tetapi juga membangun rasa kepemilikan kami terhadap pembangunan daerah,” jelasnya
Sejauh ini terbalik. Menurut Sigit, potensi intelektual dan keahlian mahasiswa belum dimanfaatkan secara optimal oleh Pemda Bolsel.
“Saya dan rekan-rekan sejawat merasa bahwa pemerintah daerah belum optimal dalam memanfaatkan potensi intelektual dan keahlian kami,” ungkapnya yang juga merupakan mahasiswa jurusan perikanan di Universitas Negeri Gorontalo.
Menurut Sigit, yang juga pernah memimpin Paguyuban Kerukunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Bolaang Mongondow Selatan di Gorontalo, kritik ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang ia amati.
Fenomena tersebut berkaitan dengan banyaknya wisudawan Bolsel yang pada akhirnya mencari peluang di luar daerah karena kesulitan menemukan cara untuk berkontribusi di daerah sendiri.
“Banyak wisudawan mahasiswa Bolsel dari berbagai keilmuan kini mengadu nasib di tempat lain, karena bingung dengan cara mereka berkontribusi untuk pembangunan di daerah,” ungkapnya.
Sigit mendesak Pemda Bolsel untuk segera merancang program inklusif, seperti pembentukan forum konsultasi mahasiswa, pelatihan kewirausahaan berbasis potensi lokal, atau proyek riset terapan yang melibatkan mahasiswa dan pelaku industri lokal.
Program ini menurutnya bukan hanya dapat membuka ruang kolaborasi yang baik bagi mahasiswa Bolsel dan pemerintah, namun juga menunjang peningkatan ekonomi dan sumber daya manusia.
“Langkah ini tidak hanya akan mendongkrak perekonomian daerah, tetapi juga mempersiapkan generasi muda Bolsel untuk menjadi agen perubahan yang kompeten dan berkomitmen,” tegasnya.
Ia membayangkan ratusan wisudawan Bolsel setiap tahun, dengan beragam latar belakang keilmuan tersebut, dapat langsung berkontribusi dan terserap oleh daerah.
“Kami memiliki pengetahuan, ide, dan semangat untuk berkontribusi, terutama dalam pengembangan sektor kelautan dan perikanan yang merupakan salah satu pilar ekonomi di Bolsel,” tutur Sigit.
“Yang kami bayangkan adalah, ratusan wisudawan mahasiswa Bolsel dapat langsung dimanfaatkan keilmuannya oleh daerah,” timpalnya dengan penuh harap.