Sistem pendidikan kita menghadapi dilema mendalam: di satu sisi, kejujuran akademik ditekankan dengan pelarangan mencontek; di sisi lain, banyak tokoh sukses dunia terinspirasi, bahkan terkadang “meminjam” ide orang lain untuk menciptakan inovasi. Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: manakah yang lebih penting—kepatuhan pada aturan atau kemampuan berinovasi? Dilema ini mencerminkan adanya kontradiksi dalam sistem pendidikan kita yang terlalu fokus pada pencegahan kesalahan, sehingga menghambat kreativitas dan kemampuan memecahkan masalah.
Lebih lanjut, sekolah mengajarkan untuk menghindari kesalahan, menyamakan kesalahan dengan nilai buruk. Namun, realitas kehidupan justru mengajarkan pembelajaran dari kesalahan. Kegagalan menjadi guru terbaik, bukan hukuman. Fokus pada “jawaban benar” daripada pemahaman mendalam terlihat jelas dalam contoh siswa yang menghafal rumus matematika tanpa memahami konsepnya. Akibatnya, mereka kesulitan menyelesaikan soal yang lebih kompleks. Sistem ini menciptakan rasa takut untuk bereksperimen, menghambat perkembangan berpikir kritis yang krusial untuk inovasi.
Kontradiksi ini semakin terlihat jelas jika kita bandingkan dengan pendekatan tokoh-tokoh besar dunia seperti Steve Jobs, Elon Musk, dan Mark Zuckerberg. Mereka seringkali mengambil inspirasi dari ide-ide yang sudah ada, lalu menyempurnakannya menjadi inovasi yang luar biasa. Ini bukan plagiarisme, melainkan transformasi dan peningkatan yang lahir dari keberanian mengambil risiko, bereksperimen, dan belajar dari kegagalan. Sebaliknya, sistem pendidikan kita, alih-alih mendorong inovasi, justru menanamkan rasa takut untuk berkarya, berkembang, dan mengambil risiko. Bandingkan dengan sistem pendidikan di Finlandia, yang menekankan kolaborasi, kreativitas, dan pembelajaran berbasis proyek, menghasilkan lulusan yang dikenal karena kemampuan memecahkan masalah dan beradaptasi.
Akibatnya, sistem pendidikan kita cenderung mencetak “robot ranking” yang terampil dalam ujian, tetapi kurang mampu menyelesaikan permasalahan kehidupan nyata. Banyak siswa yang pandai dalam ujian matematika, namun kesulitan menerapkan konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Sekolah melatih siswa untuk patuh pada aturan, bukan untuk menciptakan aturan baru. Kreativitas dan pemikiran kritis seringkali dianggap sebagai pembangkangan. Sistem ini dirancang agar siswa patuh, bukan menjadi pemimpin yang berani berpikir berbeda. Ini merupakan konsekuensi langsung dari fokus pada hafalan dan kepatuhan yang dibahas sebelumnya.
Lebih jauh lagi, kurikulum pendidikan kita seringkali ketinggalan zaman. Di era kecerdasan buatan (AI), kita masih disibukkan dengan hafalan materi yang kurang relevan. Waktu yang dihabiskan untuk menghafal nama-nama kerajaan di masa lalu mungkin lebih baik dialokasikan untuk mempelajari coding, artificial intelligence, atau data science. Keterampilan digital, public speaking, coding, dan personal branding – keterampilan yang sangat dibutuhkan di abad ke-21 – diabaikan. Tekanan pada guru untuk mencapai target nilai siswa yang tinggi, dan tekanan pada siswa untuk mengejar angka, bukan pemahaman, memperparah masalah. Sistem ini, yang masih terbebani oleh warisan kolonial, menekankan kepatuhan dan hafalan daripada kreativitas dan inovasi.
Oleh karena itu, solusi bukanlah menghancurkan sistem pendidikan, melainkan mengubah polanya. Kita perlu berfokus pada pembelajaran bermakna, bukan sekadar menghafal. Kurikulum harus mengikuti kecepatan perubahan zaman, meninggalkan model pendidikan kolonial yang menekankan kepatuhan dan hafalan. Sekolah harus mengajarkan adaptasi, empati, dan kemampuan memecahkan masalah, bukan hafalan, peringkat, dan ketekunan semata. Pendidikan harus membuka potensi, bukan membatasinya. Di dunia nyata, yang menang bukanlah mereka yang paling banyak menghafal, melainkan mereka yang mampu beradaptasi, berinovasi, dan memberikan solusi. Pertanyaannya, apakah kita ingin menjadi buku pelajaran, atau menjadi sejarah?
Penulis: Aldy Fadly